Judul : Sekolah yang Menyenangkan
Penulis : Anna Farida, Suhud
Rois, dan Edi S. Ahmad
Penerbit : Nuansa Cendekia
Tahun terbit : 2014
Belajar adalah tempat yang mengalir, dinamis, penuh risiko, dan
menggairahkan. Belum ada kata “aku tahu” di sana. Kesalahan, keceriaan, dan
ketakjuban mengisi tempat itu. (Quantum Teaching).
Jika benar proses belajar
digambarkan seperti pernyataan di atas, mengapa masih ada anak yang seringkali
merasa bosan bahkan menghindar ketika disodori berbagai mata pelajaran sesuai
kurikulum yang telah ditetapkan? Benarkah proses pembelajaran di setiap sekolah
di Indonesia telah membuat siswa-siswanya menjadi pribadi yang bertumbuh?
Buku “Sekolah yang Menyenangkan”
ini mencoba menjelaskan gambaran ideal sistem pendidikan yang diyakini dapat
memaksimalkan potensi dan mengembangkan karakter setiap anak. Bagaimana agar
kata “belajar” tidak membuat seorang anak menjadi mengkerut lalu mundur teratur
dan kemudian berlari menjauhinya. Tetapi sebaliknya, menyambut dengan suka
cita, bahkan tergoda untuk menjadikan “belajar” sebagai bagian solid dari
kehidupan mereka.
Bukunya dibeli tahun 2014, baru dibaca 2016 #penimbunbuku :) |
Adalah salah satu tugas seorang
pendidik untuk menciptakan paradigma belajar menjadi suatu definisi yang
menyenangkan, bukan menyebalkan. Sekolah seharusnya merupakan lembaga yang
dapat membuat para guru kreatif berkarya, membuat para siswa bertumbuh tanpa
harus kehilangan jati dirinya, dan membuat setiap orangtua tak canggung berbagi pikiran.
Para penulis buku mewakili tiga
komponen proses pembelajaran yang tidak dapat dipisahkan. Anna Farida
menuangkan harapan terhadap dunia pendidikan sebagai orangtua. Edi S. Ahmad
adalah pemilik konsep sekolah yang menyenangkan. Sedangkan, Suhud Rois adalah
praktisi dunia pendidikan yang membagikan pengalaman mengajarnya saat
menggunakan konsep sekolah yang menyenangkan.
Buku ini menjelaskan cara
mengaktifkan sistem limbik pada bagian otak anak, agar proses belajar bisa
berlangsung dengan semangat dan penuh daya kreatif. Harapannya, hasil belajar
dapat lebih melekat dalam jangka panjang. Hal tersebut dinilai sangat penting,
terutama jika melihat kondisi kurikulum di Indonesia yang dinilai cukup padat
(sesuai kutipan pernyataan Kak Seto, mantan ketua Komnas Perlindungan Anak).
Kurikulum yang padat tidak
dijadikan sebuah beban. Keresahan siswa dan orang tua siswa diredam guru-guru
dengan cara menciptakan banyak terobosan dalam metode pembelajaran. Belajar
dengan serius tapi santai adalah prinsip dari sekolah yang menyenangkan. Hal
ini dianggap sesuai dengan pendapat Imam al-Ghazali, “ Hendaknya anak kecil
diberi kesempatan bermain. Melarangnya bermain dan menyibukkannya dengan
belajar terus menerus akan mematikan hatinya, mengurangi kecerdasan, dan
membuatnya jemu terhadap hidup sehingga ia akan sering mencari alasan untuk
membebaskan diri dari keadaan sumpek ini.” Tentu saja, konteks bermain dalam
hal ini adalah aktivitas menyenangkan yang bermuatan pendidikan.
Tak hanya berisi gambaran panduan
mengajar untuk guru kreatif, buku ini juga menjelaskan peran orang tua sebagai
partner sekolah. Sekolah ideal yang mengedepankan hak anak, akan menciptakan
kondisi yang memungkinkan orang tua terlibat aktif. Orang tua dan guru bisa
saling memberi masukan mengenai metode pengajaran yang tepat, sesuai dengan
kebutuhan putra-putrinya. Hasil tes psikologi di awal siswa di sekolah, tak
hanya sekadar syarat pendaftaran. Bukan pula dibuat agar sekolah dapat
“mengkondisikan” siswa sehingga menciptakan anak-anak berkarakter seragam,
sesuai dengan standar dan keinginan sekolah. Yang dijaga bukanlah reputasi
sekolah saja, melainkan benar-benar digunakan untuk lebih memahami siswanya.
Hasil tes psikologi tersebut dibuat sebagai dasar untuk menentukan metode
pengajaran yang tepat untuk masing-masing siswa.
Satu hal yang agak disayangkan,
buku ini hanya mengambil contoh-contoh kasus dari satu sekolah dasar saja. Sehingga
tidak ada bahan perbandingan. Sebaiknya pembaca diberikan gambaran lebih luas
mengenai seberapa besar tingkat keberhasilan gaya pengajaran “sekolah yang
menyenangkan”, dengan memberikan contoh kasus di beberapa sekolah dasar lain
yang menerapkan konsep serupa. Salah satu alasan adalah agar terhindar dari
anggapan bahwa buku ini hanya sekadar ajang promosi sekolah tertentu.
Terlepas dari hal itu, sepertinya
konsep “sekolah yang menyenangkan” yang disajikan dalam buku ini, tetap bisa
dijadikan pertimbangan untuk diterapkan di setiap sekolah di Indonesia. Hal itu
karena dasar teori dan penjelasan yang disajikan cukup masuk akal dan menyentuh
kebutuhan dasar seorang anak. IMHO.
Seandainya sekolah-sekolah di
Indonesia seperti Tomoe Gakuen-nya Toto Chan…